Tempat Sharing Tutorial Blog, Download Movie & Software Gratis

Perpedaan Prinsipil 4 Madzhab


Di dalam agama Islam banyak sekali madzhab-madzhab (golongan) yang muncul setelah jaman sahabat Nabi. Namun madzhab yang masyhur di ketahui ada 4 madzhab, yaitu Madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, Mansyur disini karena fatwa-fatwa dari madzhab mereka yang tahan uji sehingga berkesinambungan sampai saat ini, sedangkan madzhab-madzhab selain dari yang 4 itu banyak yang berguguran dikarenakan ijtihad-nya tidak tahan uji dalam kebenarannya. 

Diantara Imam mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara mengambil hukum (istimbath) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun ke empat madzhab ini mempunyai persamaan, yaitu dalam memakai dan menggunakan Al-Quran untuk menjadi dasar hukum yang pertama. Mereka pertama kali melihat dan mencari dasar hukum dalam Al-Quran Kalau dalam suatu masalah yang terjadi ada hukumnya di dalam Al-Quran. tetapi jika tidak ada, maka beliau-beliau beralih kepada dasar hukum yang kedua yaitu Hadist atau Sunah Rasul. Tidak ada dari Imam yang berempat ini yang tidak memakai hadits untuk menjadi dasar hukum, karena di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh mengikuti Allah dan Rasul (Q.S An-Nisa:59)
Mereka sepakat bahwa “barang siapa yang tidak mau mengikuti Rasul, maka orang itu telah keluar dari lingkaran Islam”. Namun karena Hadist berbeda dengan Al-Quran pada waktu itu, yakni kalau Al-Quran sudah termaktub (tertulis) sedangkan hadist belum termaktub, melainkan terletak di dada para ulama dan pindah dari satu kepada yang lain. Maka, dalam cara memakai hadist terdapat perbedaan pendapat yang sangat prinsipil  diantara Imam yang empat ini

1. Imam Hanafi (81-150 H) 
Berpendapat bahwa hadist yang akan dipakai menjadi dasar hukum di dalam madzhabnya adalah hadist yang kuat saja, yang tinggi derajat ke-sahih-nya saja, bahkan lebih baik yang mutawatir (yang banyak merawikannya). Di dalam penetapan hukumnya jika tidak terdapat hadist-hadist di atas tadi, maka beliau mengambil kepada ijma sahabat. Jika tidak terdapat pada hadist tersebut terkadang beliau langsung menggunakan “ra’yi” atau Qiyas, karena mengambil dasar hukum dengan ra’yi (pendapat) atau qiyas lebih terjamin kebenarannya dari pada mengambil dasar hukum dari hadist-hadist yang diragukan atau yang kurang kuat. Apalagi dari hadist yang dhaif. 

 Menurut Imam Hanafi “pendapat” lebih baik didahulukan daripada hadist-hadist yang kurang kuat karena “pendapat” itu telah diberi izin oleh Nabi dalam hadist mu’az yang masyhur (H.R. Turmudzi dan Abu Daud – Shahih Tirmidzi Juz. II hal. 68 – 69, dan Sunan Abu Daud Juz. III hal. 303), karena itu madzhab Hanafi digelari dengan madzhab “Ahli ra’yi" atau madzhab ahli pendapat, ahli qiyas. Pendapat Imam Hanafi ini dapat dipahami karena di khufah ketika itu tidak banyak perawi hadist. Imam Hanafi sedikit sekali mendapatkan hadist, sedang yang sedikit itupun diragukan pula karena keadaaan orang-orang yang merawikan hadist-hadist itu. Imam Hanafi memakai pula satu dalil yang bernama istihsan, yaitu kemaslahatan umum atau yang lebih baik. 

Sebagai contoh: Nabi Muhammad saw. melarang membaca Al-Quran bagi wanita yang mempunyai hadast junub (yang telah bersetubuh dgn suaminya). Dalam hal ini timbul suatu masalah, bagaimana kalau wanita yang haid, bolehkah ia membaca Al-Quran?.... Ada sebagian ulama memfatwakan “tidak boleh membaca Al-Quran karena di-qiyas-kan kepada wanita junub tadi”, tetapi Imam Hanafi mengatakan boleh membaca Al-Quran bagi wanita yang haid, karena masa haid itu lama. Kalau wanita yang haid dilarang membaca Al-Quran, maka akan terlalu lama, jadi jangan di qiyaskan kepada wanita yang keadaan junub, karena hadast junub itu hanya sebentar, cukup hanya dengan melakukan mandi junub. Jadi dalam soal qiyas, menurut beliau harus dipertimbangkan mana yang lebih baik. Itulah yang dinamakan istihsan. 

2. Imam Maliki (83-179 H) 
Berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadist sesuai dengan pendapat Imam Hanafi, tetapi kalau sebuah hadist berlawanan dengan “amalan” orang Madinah, maka yang didahulukan dalam penetapan hukumnya adalah “amalan” orang Madinah. Jadi dasar madzhab beliau diantaranya adalah “amalan” orang Madinah, bahkan dasar ini terkadang didahulukan dari hadist, beliau menganggap amalan orang Madinah sama juga dengan hadist, dan bahkan lebih tinggi derajatnya dari hadist. Karena, kalau hadist diriwayatkan dengan “perkataan” dari orang keorang, sedangkan amalan orang Madinah diriwayatkan dengan “perbuatan” yakni “perbuatan Nabi” yang dilihat oleh sahabat lalu diikuti dan dikerjakan, setelah itu diikuti lagi oleh murid-murid beliau. Begitulah seterusnya yang dikerjakan oleh orang-orang Madinah dari perbuatan ke perbuatan. Maka yang lebih kuat menurut beliau adalah perbuatan dibanding dengan perkataan. Sebagai contoh: terdapat dalam sebuah hadist ahad (hadist satu silsilah) yang menyatakan bahwa Nabi meletakan tangan kanan diatas tangan kiri pada dada dalam melaksanakan sholat, tetapi Imam Maliki melihat para tabiin di Madinah ketika melaksanakan sholat melepaskan tangannya ke bawah, yang mana pelaksanaan ibadah semacam itu diambilnya dari ibadah sahabat-sahabat Nabi dan para sahabatpun melihat dari ibadah (perbuatan) Nabi ketika mengerjakan sholat. Jadi, Imam Maliki berpendapat bahwa riwayat dengan perbuatan lebih kuat dibandingkan riwayat dengan perkataan. Dan apabila suatu permasalahan tidak didapatkan dari hadist dan amalan orang Madinah, maka beliau menggunakan qiyas. Imam Maliki memakai pula satu dalil yang diberi nama “Mashalihul Mursalah” (kemaslahatan mutlak). Sebagai contoh andai-kata pasukan Islam berperang dengan pasukan kafir, dan seorang panglima dari golongan kafir tersebut menjadikan salah seorang muslim sebagai tameng (pelindung) agar ia dapat meloloskan diri, maka Imam Maliki berpendapat bahwa diperbolehkan untuk menyerang demi kemaslahatan umat walaupun orang Islam tersebut sampai terbunuh, karena kalau sampai panglima dari golongan kafir tersebut meloloskan diri, maka dikhawatirkan akan lebih banyak mencelakakan umat Islam. 

3. Imam Syafi`i (150-204 H) 
Berpendapat bahwa hadist-hadist diutamakan pengambilannya dari pada amal perbuatan orang madinah, jadi, kalau amalan orang madinah bertentangan dengan hadist, maka Imam Syafi`i lebih mendahulukan hadist. Bagi beliau Al-Qur`an dan Hadist adalah yang utama dan pertama, dimana kalau tidak ada dalam Al-Qur`an dan Hadist, maka pindah pada Qiyas dan Ijma mujtahid yang harus bersandar pada Al-Qur`an dan Hadist. Qiyas dan Ijma yang tidak bersandar pada Al-Qur`an dan Hadist tidak dipakai oleh Imam Syafi`i, karena itu Beliau diberi gelar ”Ahlul Hadist” atau ”Nashirul Hadist”, Yaitu ahli Hadist atau penolong hadist. Hadist yang dipakai untuk menjadi dasar hukum dalam Madzhab Syafi`i ialah hadist yang shahih-shahih, sedangkan hadist yang dha`if dipakai juga hanya untuk Fadhailul A`mal untuk dasar amalan-amalan sunah seperti untuk menetapkan dzikir, banyaknya dzikir dll. Adapun amalan sahabat nabi yang utama diterima menjadi dasar hukum kalau nabi menyuruh umat Islam untuk mengikutinya. Karena Rasulullah telah bersabda: Artinya: “Ikutilah dua orang setelah aku wafat, yaitu Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi, shahih Tirmidzi hal. 129) Karena itu , didalam Madzhab Syafi`i sunah hukumnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat dalam setiap malam bulan Ramadhan dengan berjamaah, karena hal ini diperintahkan oleh sayyidina Umar r.a. (lihat sahih Bukhari I hal. 241 – 242) atau (H.R.Baihaqi,lihat sunan Al-qubra juz II hal 466). 

4. Imam Hanbali (162-241 H) 
Beliau berpendapat bahwa kalau tidak terdapat hukum dalam Al-Qur`an maka beliau mencari dalam hadist nabi, Andai kata ada pendapat atau perbuatan dari sahabat nabi, tabi`in atau dari siapapun yang tidak sependapat dengan hadist maka pendapat atau amalan orang tersebut tidak dihiraukan. Didalam menetapkan hukum,beliau berpendapat lebih baik memakai hadist dha`if (yang lemah) daripada memakai “pendapat ” dalam menetapakan hukum. Karena hadist tersebut, kata beliau sekalipun dho`if adalah hadist juga hanya yang meriwayatkannya saja yang meragukan. 

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa 4 madzhab tersebut terdapat perbedaan – perbedaan yang sangat mendasar dalam menetapkan hukum – hukumnya :
Sumber hukum madzhab Hanafi: 
¤  Al-Qur`an 
¤  Sunah Rasul Yang Shahih dan masyhur saja 
¤  Ijma sahabat nabi Qiyas (pendapat) 
¤  Istihsan (pendapat yg lebih baik) 

Sumber hukum madzhab Maliki: 
¤  Al-Qur`an 
¤  Sunah rasul yang Shahih menurut pandangan beliau 
¤  Amalan para ulama ahli Madinah ketika itu 
¤  Qiyas ( Pendapat) 
¤  Mashalihul Mursalah (Kemaslahatan umum) 

Sumber Hukum Madzhab Syafi`i : 
¤  Al-Qur`an 
¤  Hadist yang shahih menurut pandangan beliau. (Hadist shahih mutawatir, ahad, masyhur). 
¤  Ijma para mujtahid 
¤  Qiyas 

Sumber Hukum Madzhab Hanbali: 
¤  Al-Qur`an 
¤  Ijma Sahabat 
¤  Nabi Hadist, termasuk hadist mursal dan hadist dha`if 
¤  Qiyas (pendapat) 

Dengan perbedaan dasar hukum ini, dapatlah kita ketahui bahwa dalam 4 Madzhab ini, munculah hukum-hukum Furu`iyah (cabang) yang berlainan, dikarenakan dari asal perbedaan prinsif dalam sumber hukum dan cara pemakaian hadist-hadist tersebut. Perbedaan-perbedaan Furu`iyah tersebut dapat dilihat dengan jelas sekali dalam kitab “Bidayatul Mujtahid” karangan Imam Ibnu Rusydi dan dalam kitab ”Madzahibul Arba`ah” karangan Abdul Rahman Al-Jazairi, yang ditimbulkan karena perbedaan-perbedaan prinsip. 

Jadi kalau sekarang terdapat banyak perbedaan diantara kita, karena pada hakekatnya semua perbedaan itu mempunyai dasar-dasar yang benar. Dan karena perbedaan tersebut janganlah menjadi perpecahan dalam kesatuan agama Islam (Dinnul Islam) dalam surat As-Shaff ayat 4, Al-Quran memberikan gambaran bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalannya dalam struktur yang ter-organisir, mereka diumpamakan bagaikan suatu bangunan yang kuat, kokoh dan rapi, beratap kesatuan, belantai persamaan, berdinding kebenaran, berhias perbedaan dan berpagar persatuan.

Sumber: Ustadz. Aceng.