Anak Belajar dari Kehidupannya*
- Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
- Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
- Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
- Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
- Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
- Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
- Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
- Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dlm kehidupannya.
*Taken from "children learn from they live" By Dorothy Law Nolte
Dari sebuah sajak yang dibuat oleh Dorothy Nolte, seorang sarjana psikolog itulah bisa kita lihat keadaan diri kita sekarang ini. Kehidupan kedewasaan kita orang Banten -meski tidak general- sekarang ini sepertinya telah melewati masa kanak-kanak yang menyeramkan. Bagaimana karakter kita dibentuk menjadi seorang jawara yang berkonotasi sangat menyeramkan. Bagaimana kata jawara tersebut perlahan pudar definisinya, menjadi sebuah definisi yang negatif.
Jawara yang dulu sangat hebat dan identik dengan perlindungan kepada rakyat, pemihakan kepada keadilan dan kebenaran, kini seakan berubah, berganti kepada kesan yang menyeramkan; Kekerasan, Frontal, Represif, Pemihakan kepada kekuasaan yang bathil, arogan, semena-mena serta segudang kesan negatif lainnya. Juga tidak lupa dengan ciri khasnya : Hitam-hitam.
Pake hitam..?. ah.. saya juga punya banyak sahabat serta teman yang senang memakai hitam-hitam, tetapi tidak berwatak seperti jawara latah tersebut. Mereka adalah insan akademis, intelektualis, meski ada beberapa diantaranya masih memiliki jiwa jawara dengan turun ke jalan dibarengi sedikit anarkis, tetapi itu bukanlah jiwa jawara. Hal itu semata hanyalah luapan emosional karena mereka selalu terkungkung, kata-kata mereka tidak di dengar oleh penguasa. Dan satu hal, mereka adalah cerminan masyarakat yang masih kental dengan idealisme.
Tentu saja beda dengan jawara latah tersebut. Mereka membela yang bayar, mereka agung-agungkan nama majikannya, mereka menuliskan nama majikannya pada suatu altar yang sangat sakral, lengkap dengan embel-embel "gelar terhormatnya", hanya karena si majikannya yang membangun altar sakral tersebut. Sungguh sebuah penjilatan yang sama sekali tak bermakna bagi saya dan sahabat-sahabat idealis saya.. Dan yang membuat saya tambah muak sekaligus mual, saya harus selalu membaca namanya di altar sakral tersebut setiap kali saya pergi dan pulang dari tempat aktivitas saya. "Uuukkhhh.... Muall..!!"
Mengacu kepada sajak di atas, mungkinkah para jawara tersebut telah salah asuh ? Masa kecil mereka diajarkan dengan permusuhan sehingga mereka mempelajari cara berkelahi. Masa kecil nya di besarkan dengan celaan sehingga mereka sukses mempelajari mencemooh.
Sekarang situasi sudah terlanjur, dunia tidak mungkin berbalik arah. Biarkanlah para jawara tersebut menikmati jatah sisa hidupnya. Syukur-syukur mereka bertaubat dan tidak mengulangkan pelajaran masa kecil mereka kepada anak-anaknya. Akan lebih baik jika mereka, bersama para oarng tua lainnya mengajarkan kepada anak-anaknya pelajaran-pelajaran positif yang terkandung dalam sajak di atas, sehingga tidak akan terlahir kembali jiwa-jiwa muda yang terserang penyakit jawara latah.
Membaca kembali sajak di atas, saya juga teringat akan guru sekaligus panutan juga sahabat saya, Deni Irawan Soedrajat, yang sekarang menjadi fasilitator sekaligus direktur Bandung Consulting Group. Beliau munuliskan sitir/tulisan yang berjudul "Generasi Kodok"
Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa kehidupan anak-anak di berbagai negara sekarang ini berlainan. Anak-anak Israel sejak kecil telah di jejali pendidikan politik, mereka hidup dengan seorang pengasuh yang bernama "Kibbuzt dan di doktrin tentang ajaran Zionisme. Sementara dalam lingkungan keluarga mereka, jika menangis, anak-anak ini di takut-takuti akan di jual. Dan ketika mendengar kata akan di jual, reflex tangisan mereka berhenti.
Di Rusia, mereka mengajarkan kepada anak-anaknya faham Komunis sebagai ideologi pilihan hidup mereka, di setiap ada kesempatan dan bahkan dalam setiap ada interaksi, sehingga hasilnya, orang-orang Rusia sampai dengan sekarang ini tetap konsisten dengan ke-komunisannya.
Di negara Paman Sam, pendekatan dilakukan tidak secara langsung, tetapi ketika proses makan malam, mereka mengobrol tentang keseharian. Juga melalui ppesawat televisi, melalui paket-paket siaran dll untuk mendukung tentang faham liberalisme dan plularisme.
Di Jepang, anak-anak diajarkan sikap ksatria dan bisa di percaya, spontanitas. Di Iran, banyak orang tua mengajarkan kerinduan akan mati syahid dan persaudaraan antar ummat Islam dalam acara ta'ziyah kepada anak-anaknya, sehingga tidak heran dari negeri ini terlahir ulama-ulama, pemikir-pemikir Islam yang termasyhur, serta para cendikiawan yang berlandaskan Tauhid yang tebal tak tergoyahkan.
Sementara di Indonesia, anak-anak yang dalam usia rawan, mereka selalu ada dalam pelukan bunda dan orang tuanya. Tetapi apa yang terjadi, ketika anak tersebut terjatuh, mereka menyalahkan kodok. Atau jika ada ayam yang sedang sial, mereka melempar ayam tersebut, serta mengkambing-hitamkan kodok atau ayam yang telah menjatuhkan si anak. Begitulah keadaan anak-anak di Indonesia, sehingga wajar ketika besarnya si anak nanti, dia kerap sangat senang untuk mencari kambing hitam, ketika sebuah kesalahan terjadi kepadanya. "Here we are.., the frog generation's..."
Dari wacana di atas, apakah yang sebenarnya harus orang tua tanamkan atau ajarkan kepada si anak sehingga nantinya tidak menjadi generasi jawara latah atau bahkan generasi kodok ?. Secara teori mudah saja, tetapi fakta nya jelas sagat sulit dan butuh proses.
Meski si anak tidak selalu akan bersama orang tuanya (mereka akan berinteraksi dengan guru, teman-temannya di sekolah dll), tetapi pendidikan yang paling pertama dan utama adalah dari orang tua atau keluarganya. Merekalah yang paling berhak menorehkan tinta hitam, putih, atau abu-abu serta warna-warna lain kepada si anak.
Maka tolonglah, ajarkan kepada mereka nilai-nilai positif. Ajarkan mereka dengan toleransi sehingga mereka bisa belajar menahan diri. Besarkan mereka dengan dorongan sehingga mereka bisa belajar percaya diri. Besarkan mereka dengan pujian sehingga mereka belajar menghargai. Besarkan mereka dengan sebaik-baik perlakuan sehingga mereka belajar tentang keadilan. Besarkan mereka dengan rasa aman sehingga mereka menaruh kepercayaan. Besarkan mereka dengan dukungan sehingga mereka belajar menyenangi dirinya. Besarkan mereka dengan kasih sayang dan persahabatan sehingga mereka belajar menemukan cinta dalam kehidupannya
Setelah semua sudah dalam proses, maka tuliskan kalimat di bawah ini pada dinding-dinding hati dan harapan kita :
"Selamat tinggal generasi jawara latah dan generasi kodok. Dan selamat datang jiwa-jiwa muda jawara sejati, generasi madani penerus tatanan nilai-nilai kebenaran dan keadilan".
Oleh : Iip Syafruddin**
*Ditulis untuk ikut merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010
**Penulis adalah alumni STAIN "SMHB" Serang dan beraktivitas pada LSM per-Mata Banten